Minggu, Mei 29, 2011

Seperti Berlayar Di lautan

Ada suatu cerita tentang nenek seorang tua . Dia punya anak banyak, hampir semuanya menjadi orang besar. Dan sebagai balas budi kepada orang tuanya, mereka bersepakat memberikan kemewahan bagi ibunya. Dibuatkan gedung besar, diisi perabotan yang lengkap, disediakan mobil mewah beserta sopirnya. Uang belanja setiap bulan tidak kekurangan, bahkan berlebihan.Tetapi nenek itu makin lama makin kurus, sakit-sakitan. Dia sendirian, menyepi dengan seekor kucing piaraannya. Pada suatu hari nenek tua itu minta kepada sopirnya untuk diantarakan ke vila yang diberkan anaknya di puncak. Sopir heran karena waktu itu hari sudah jauh malam. Namun, terlaksana juga perjalanan itu dengan selamat.Sampai di puncak si sopir disuruhnya pulang. Dan ketika mobil itu sudah jauh menghilang, nenek yang kaya itu menggendong kucingnya, menuju ke pinggir jurang dengan langkah-langkahnya yang sempoyongan. Di sana ia menerjunkan diri ke bawah, setelah memejamkan mata dan menangis dalam cucuran mata nya yang deras. Nenek itu mati bersama kucing tuannya yang setia.

Kita tidak peduli apakah cerita ini benar-benar terjadi ataukah sekedar khayalan seorang pengarang. Cuma jelas, di antara kepingan-kepingan tubuh nenek yang nekat itu ditemukan sepucuk surat yang di tujukan kepada anak-anaknya. Surat itu berbunyi: “Jangan kalian salahkan siapa-siapa kalau aku berbuat nekat seperti ini. Sebagai anak, kalian cukup berbakti kepada Ibu. Tetapi kalian lupa bahwa kebahagiaan seorang janda tua adalah hidup bersama anak-anaknya, mecium pipi cucu-cucunya dan tertawa memandangi tingkah cucu-cucu yang lucu serta sehat-sehat itu. Agaknya kalian sengaja memisahkan aku agar tidak mengganggu kesenanganmu. Hari-hariku hanya di penuhi dengan kesepian. Aku harus menunggu lama sebelum kadang-kadang dua bulan sekali kalian mengunjungiku.”

Memang sering kita lupa bahwa kebahagiaan itu tidak cukup dengan benda-benda mati. Sebab kebahagiaan itu sesuatu yang terbetik di balik wadah kasar. Manusia bukanlah terdiri atas daging dan tulang saja. Manusia hidup tidak hanya dengan napas dan jantung yang berdegub, tetapi juga dengan perasaan dan kehormatan.. kita kadang-kadang salah tafsir terhadap hidup. Ucapan terima kasih ditafsirkan dengan unag. Anak menangis supaya diam diberi uang. Utang budi dibalas dengan uang. Urusan beslit agar dapat diselesaikan dengan baik harus disodori uang, atau kalau tidak, minta uang. Orang yang saling membenci agar berbaikkan kembali diberi uang. Kalau masih belum enak hati, jumlah uang itu diperbesar lagi. Terhadap perlanggaran lalu lintas, biar perkaranya tidak berlarut-larut, dipakai uang sebagai pelicin.

Uang, uang, uang. Seolah-olah uang lebih Tuhan daripada Tuhan. Apabila ajaran ini terus kita ikuti dengan setia, bahwa segala kejadian di dunia, naik atau turun itu bergantung pada uang, maka hubungan antara manusia dengan manusia akan menjadi kaku, palsu, tegang dan dengki.Banyak pengalaman yang telah kita lalui memberi pelajaran kepada kita bahwa tidak semuanya bisa dibeli dengan uang. Bahwa tidak semua kesenangan jasmani menjamin ketentraman rohani. Malah sering kesenangan lahiriah itu menyeret kita kepada penyesalan dan penderitaan batin yang akibatnya sangat fatal jika kita tidak hati-hati.

0 komentar:

Posting Komentar